“Selamat Pagi nona
kecil,”
Ku pejamkan mata, mencoba melihat
seluruh isi dunia dari kegelapan. Ku rasakan hembusan angin kecil, tak ku
hiraukan suara bising kicauan burung. Mencoba mendamaikan hati dari bisikan –
bisikan liar oleh pikiran. Dingin, namun kurasakan cahaya mentari yang kunjung
menyapa tubuhku. Ku tersenyum mengingat kata itu, kata yang hampir setiap pagi
ku dengar dari ksatria ku tanpa kuda. Ksatria yang didamba – damba oleh pujaan
hati banyak wanita. Sungguh, beruntungnya diriku bisa mendapatkannya. My big
hero. My daddy.
Aku terperajat mendengar
handphone ku berdering.
“Rey?” ku termenung melihat layar
handphone ku bertulisan namanya.
“Fiaaa.. Ayo turun sayang, kamu
tidak pergi bekerja? Rey sudah ada dibawah,” panggil ayahku dari lantai bawah.
“Iya, sebentar lagi Fia turun,
ayah,” jawabku sambil mematikan panggilan dari Rey, dan mulai sedikit
merapihkan pakaian kerjaku.
Tak membutuhkan waktu yang lama
untuk turun dari kamarku, dan kutemui 3 pria yang paling ku sayangi sedang
duduk dimeja makan menikmati masakan buatan bibi. Ya, ibuku sudah tiada sejak
dia melahirkan adik kecilku. Awalnya aku marah, mengapa tidak adikku saja yang
mati, kenapa harus ibuku satu – satunya, mengapa harus ada kehilangan setelah
ada kedatangan yang seharusnya menggembirakan. Namun semakin aku bertambah umur
aku mulai menyadari, bahwa ini keputusan yang baik karena ibuku akan masuk
surga karena ibuku mati syahid, mati dijalan Allah. Dan entah mengapa ini sudah
17 tahun semenjak ayah ditinggal ibu, ayah tidak ingin menikah lagi. Disisi lain
aku sangat bangga pada ayahku karena selalu menjaga cintanya untuk ibuku
seorang, tapi disisi lain aku merasa sedih, kesendirian dapat membunuh
kebahagiaan.
Sejenak ku berhenti dan mulai
tersenyum melihat perbincangan mereka yang penuh tawa dan canda. Ku mulai
mengampiri adik kecil ku, Raka, yang berumur 17 tahun, dan mencubit pipi kecil
nya. Seperti biasa dia hanya bisa marah – marah kecil dan mulai mengutukku.
Kemudian aku menghampiri ayah, dan mencium pipinya lembut. Selanjutnya, yah kau
tahu, aku hanya bisa duduk disebelah ayah dan Rey, pacar ku atau bisa dibilang
calon suamiku. Tidak mungkin kan aku memeluknya didepan ayahku, haha.
Percakapan tak berlangsung lama disitu karena kami harus melaksanakan kewajiban
kami masing – masing. Seperti biasa, aku diantar Rey menuju kantorku.
“Hai nona kecil, kenapa dirimu
hanya terdiam termangu melihat puluhan mobil diluar sana?” goda Rey, aku hanya
tersenyum melihatnya dan kembali melihat kearah luar. Mendengar kata ‘nona kecil’, teringat ayah, sungguh
menggembirakan memiliki mereka berdua.
Rayzan Andika Putra, itu nama
pacarku. Kami saling mengenal sejak dibangku kuliah semester 3, dia teman
sekelas ku. Aku tidak ingat bagaimana kita dekat, kita hanya berteman biasa
sampai suatu saat dia menyatakan perasaannya padaku. Namun pada saat itu aku
hanya bisa terdiam tanpa menjawab. Kami sempat menjaga jarak selama 2 minggu
setelah itu, namun aku dan dirinya tidak tahan melihat kesenjangan ini, dan
pada akhirnya dia angkat bicara, “aku
akan menunggumu sampai siap untuk menjadi calon istriku, bukankah aku tidak
memintamu menjadi pacarku?” . Aku tersenyum geli mengingatnya, aku akan
selalu mengingatnya.
Saat itu aku hanya bingung
bagaimana menjawabnya. Aku akui aku menyukainya, bahkan mulai mencintainya. Entah
kapan benih merah jambu ini muncul dihatiku. Perempuan mana yang tidak tertarik
padanya? Dia tampan, berbadan tegap tinggi, berkulit putih, sangat menguasai
mata kuliahnya, rajin mengerjakan tugas, yang bukan tugas saja dia kerjakan
(hehe), ramah kepada siapa pun, yang paling penting dia rajin beribadah ke
masjid. Yah, sungguh idaman kaum hawa. Sedangkan aku, hanya seorang gadis
ingusan anak papa yang setelah 3 tahun lamanya memendam perasaan untuk tidak
mencintai seorang laki – laki selain ayah dan adikku. Yah, sedikit penyesalan cinta
monyet yang berbumbu gula tetapi tidak manis. Sampai suatu hari kami wisuda,
dan pada saat itu aku menerimanya. Dia girang bukan main, terlihat dia sangat
ingin memelukku tapi tersadar bahwa kami bukan mukhrim. Aku hanya bisa
tersenyum menahan tawa, bahwa sebenarnya hatiku-lah yang lebih berbunga –
bunga.
“Fia.. ada apa denganmu? Kau sakit?”
ucap Rey lirih.
Aku hanya menggeleng dan
tersenyum kembali melihatnya.
“Aku hanya sedang bersyukur
mempunyai pria – pria yang sangat menyayangiku,” balasku.
“Pria – pria? Siapa saja mereka?
Apa kamu mencoba membuatku cemburu?” tambahnya dengan nada tidak suka namun
tetap berusaha melucu.
“Maybe, hahaha. Mereka ayah dan
adikku, kalo kamu? Kamu kan belum jadi suami aku, jadi kamu belum milikku,”
godaku dengan nada sedikit serius.
“Kode merah nih, kode merah”
candanya sambil mencubit lenganku.
“Iih.. cubit – cubit lagi, bukan
mukhrim ah,” senggolku gantian.
“Iih.. senggol – senggol, bukan
mukhrim juga,” balasnya sambil memerhatikan mobil – mobil yang semakin memenuhi
jalanan.
Aku hanya bisa tertawa, dan mulai
membuka handphone karena ada notifikasi di sosial media. Tiba – tiba tangan Rey
mengambil handphone ku,
“Bukan kah kita sudah mengucap
janji apabila sedang bersama tidak boleh bermain gadget?” Ucapnya masih sambil
menyetir. Aku hanya bisa terdiam meng-iya-kan pernyataannya. Namun aku mulai
bosan dengan suasana yang hening, ku putuskan untuk menyalakan musik. Namun tiba
– tiba Rey mematikan lagunya.
“Aku sudah berbicara pada orang
tua ku, dan kami akan datang kerumahmu sabtu ini,” ucapnya pelan namun sangat
jelas ku mendengarnya. Aku memandang Rey dengan terkejut. Aku belum siap.
“Bukan kah kita sudah bersama –
sama selama 4 tahun ini? Aku sudah mengenalmu dengan baik, begitu pula
denganmu, begitu pula dengan orang tua kita, keluarga kita. Jika kita menudanya
semakin lama, aku takut..”
“Takut kau akan berpaling dariku?
Takut kau akan menyukai orang lain?” potongku, dan tanpa ku sadari nada suaraku
mulai meninggi.
“Siapa yang..”
“Aku tidak pernah mengikatmu
untuk selalu berada disisiku, aku selalu membiarkan mu untuk memutuskan apa
akhir dari hubungan ini. Aku tidak pernah melarangmu untuk mendekati wanita
lain,” Aku berbohong, ucapanku itu semua bohong. Hatiku sakit mengucapkan hal
itu. Tapi itulah kenyataanya, aku memang tidak ingin Rey merasa terikat dengan
diriku.
“Dengarkan aku dan jangan
memotong ucapanku, please honey,” ucapnya
perlahan dan hangat walaupun aku mulai marah.
“Aku takut hatimu yang berpaling,
aku takut kau terpikat dengan lelaki lain diluar sana, walaupun mungkin dia
lebih baik dariku tapi hatiku tetap saja tidak bisa melepaskanmu,” dia mengelus
kepalaku dengan lembut. Hatiku teriris, bagaimana bisa lelaki sesempurna dia
bisa mendapatkan gadis seperti diriku? Bagaimana bisa aku berpaling toh aku
sudah mendapatkan malaikat.
“Aku tidak pernah meragukan
dirimu, aku mencintaimu karena Allah , aku sangat bersyukur karena Allah telah
menurunkan bidadari surga yang lebih dari pantas untuk kujadikan seorang pendamping
hidupku,” tambahnya dengan nada sendu.
Aku hanya bisa memalingkan muka,
tidak berani menatap dirinya yang sekarang sedang menatapku lekat – lekat. Saat
itu sedang lampu merah, mengapa waktu berhenti disaat seperti ini? Pikiranku kalang
kabut. Aku mulai menitikkan air mata, dan ku tahan jangan sampai terjatuh dan
terlihat olehnya.
“Fi.. kenapa diam saja? Kamu
beneran sudah menemukan lelaki lain diluar sana?” tanya Rey, suaranya parau.
Ku matikan gengsiku dan ku
perlihatkan mataku yang sedang berkaca – kaca, menatapnya lekat – lekat. Sayang
lampu sudah kembali hijau dan Rey lebih terfokus dengan jalanan.
“Kok nangis fi? Kamu beneran...? Oke
oke, aku akan selalu dukung kamu, apa pun itu yang terbaik buat kamu, aku akan
selalu ada dibelakangmu,” ucap Rey tergesa – gesa ingin menghiburku. Ternyata dia
memperhatikanku. Segera ku layangkan tinju kecil ku kebahunya.
“Ngomong apa sih, siapa yang udah
dapet lelaki lain, hati aku cuma buat kamu seorang,” ucapku parau menahan air
mata agar tidak berjatuhan. Ku melihat kelegaan diwajah Rey. Dia mulai
tersenyum.
“Aku bete ah, jangan ngomongin
ini lagi,” ucapku kemudian, aku mulai tersadar dan menjadi salah tingkah. Rey
kembali mengusap kepala ku lembut.
“Aku akan selalu merindukan pertengkaran
kecil kita seperti ini, andai kita sudah mukhrim mungkin kamu sudah ku cium,”
candanya memecah suasana yang sendu.
“Apaan sih, turunin aku sekarang,
kamu lelaki cabul,” kubalas canda dengan pura – pura merasa jijik dengan Rey. Dan
dia hanya tertawa melihat tingkah konyolku.
“Eh tapi aku serius lho, sabtu
ini aku bakal ngelamar kamu,” ucapannya kembali serius tapi tetap dengan nada
yang ringan dan tenang.
Aku terdiam sejenak dan berpikir.
“Bagaimana dengan ayah? Kasihan dia
akan sendirian setelah kita menikah nanti,” balasku pelan, tak berani ku
melihat wajah Rey.
Rey menatapku, tersirat rasa
sayang disana.
“Bicaralah kepada ayahmu nanti
malam, aku tidak akan mengganggu kalian malam ini,”
Itu berarti Rey tidak akan
menelponku malam ini, dia akan membiarkanku menikmati waktu berdua dengan ayah.
Tapi waktu itulah yang sedikit tidak ku tunggu – tunggu. Aku takut.
.....
Malam ini ayah sedang sedikit
longgar karena besok hari sabtu, malam sabtu memang sangat nyaman untuk
bersantai melepas penat dari aktifitas yang begitu menguras tenaga siang tadi.
Ayah duduk dibalkon teras atas, sambil memegangi handphone untuk melihat berita
online dan sesekali menyeruput teh rasa jeruk purut disampingnya. Malam ini
cerah, angin yang berhembus tidak sekencang biasanya, bahkan bisa dikatakan
tenang hampir tanpa angin. Bulan sabit ditemani cahaya cahay kecil bintang
bertaburan menambah keindahan langit.
Aku memutuskan untuk duduk
disamping ayah dan bersandar dipundaknya. Ayah sedikit terkejut, namun mencoba
mendapatkan posisi yang nyaman untukku dan dirinya. Aku masih bersandar
dibahunya.
“Ada apa dengan nona kecil ku
hari ini? Tumben ga telpon – telponan sama bebebnya. Rey kemana? Dia baik –
baik saja kan?” kata ayah memulai percakapan terlebih dahulu.
Aku menegakkan badan dan melihat
ke arah ayah dengan wajah sedikit cemberut.
“Jadi ayah hanya mengkhawatirkannya?
Ayah tidak mengkhawatirkan si nona kecil ini?” ucapku pura – pura kesal.
Ayah hanya tertawa kecil dan
kembali menyuruhku perlahan untuk kembali bersandar dibahunya. “Siapa bilang
ayah ga khawatir sama si nona kecil satu ini, kalo terjadi sesuatu dengan nona
kecil ini, akan ku beri pelajaran si Rey itu,” balas ayah sok – sok garang.
Aku hanya bisa tersenyum, terdiam
menikmati kenyamanan ini yang entah suatu hari nanti apakah aku bisa
mendapatkannya lagi atau tidak.
“Ayah,” ucapku memastikan ayah
sedang mendengarkanku atau tidak.
“Apa sayang?” balasnya.
“Apakah aku pantas untuk Rey?”
ucapan itu terlintas begitu saja. YA, kekhawatiranku akan hal itu tak kunjung
reda. Aku hanya takut dia menyesal mendapatkanku dan akan menyia – nyiakan ku
begitu saja. Yah, sepertinya aku terkena korban sinetron – sinetron.
“Apa yang kamu pikirkan, Fia? Rey
yang harusnya bertanya seperti itu, dia begitu beruntung mendapatkan dirimu
sayang, anak yang selalu menurut dengan ucapan ayahnya ini masa ga termasuk
wanita idaman? Kamu wanita idaman ayah lho, Fi,” ucap ayahku yang terlalu
melebih – lebihkan sikapku.
“Ayaaah.. Fia serius ini, Fia kan
belum jadi muslimah yang solehah, Fia masih kurang banget persiapan buat jadi
istri orang, ayaah..” ucapku dan aku baru tersadar bahwa aku keceplosan.
“Siapa yang mau jadi istri orang?”
ayah memandangku dengan senyum nakal.
Aku hanya terdiam tersenyum malu,
“Ayah, sebenernya Fia mau bilang,
Rey mau ngelamar Fia sabtu besok, tapi Fia ragu, Fia takut, Fia malu, pokonya
Fia ngerasa ga siap gitu, Yah, Fia harus gimana dong?” aku mulai merengek manja
tapi tetap serius pada pembicaraaan.
“Fia ragu kenapa? Fia ragu sama
Rey?” Ayah balik bertanya sambil memandangku.
“Bukannya ragu sama Rey, cuma
ngerasa kalo Rey terlalu baik buat Fia,”
“Rey merasa kaya gitu ke Fia?”
“Engga juga sih, malah katanya
dia beruntung dapetin, Fia,” Aku malu sambil melilit lilit baju.
Ayah tersenyum,
“Fia, jodoh ada ditangan Allah ,
namun kita sebagai umatnya juga harus mencari jodoh kita tersebut. Jika kita
sudah memilih, berdoa-lah kepada Allah , seperti meminta restu Allah. Jika orang
itu memang yang terbaik buat Fia, pasti orang tersebut akan selalu didekatkan
dengan Fia. Namun apabila menurut pandangan Allah dia bukanlah yang terbaik
untuk Fia, maka Fia dan dia akan dijauhkan. Kalian sudah sangat jauh mencapai
jalan sampai seperti ini, kalian kan juga sudah tau latar belakang masing –
masing, yang terpenting kalian juga saling cinta atas nama Allah , bukan? Ayah
akan selalu ada dibelaang Fia, mendukung Fia dengan sepenuh hati, dan selalu
mengarahkan Fia ke jalan yang baik. Rey anak yang baik, soleh, Ayah yakin dia
juga dapat menuntun Fia menjadi wanita yang lebih solehah, dan Ayah akan selalu
bangga dengan kalian.”
Aku hanya bisa terdiam termangu
mendengar ucapan ayah yang begitu hangat dan penuh kasih sayang. Ku peluk ayah,
dan aku kembali bersandar kepadanya.
“Lalu pertanyaan kedua, apa yang
akan Ayah lakukan setelah Fia dipingit orang? Ayah akan sendirian tanpa ada
sosok wanita dihidup Ayah, aku juga mempermasalahkan hal itu, Ayah. Apa perlu
aku carikan wanita sebagai pendamping hidup ayah? Atau aku batalkan pernikahan
dan kembali ke sisi Ayah untuk selalu menemani Ayah?” Tanyaku bertubi – tubi seperti
anak kecil yang penasaran akan suatu hal baru.
Ayah hanya tertawa mendengar
celotehanku. Kemudian menatapku.
“Fia sayang.. Ayah tidak akan
pernah kesepian selagi ada kalian, Fia dan Raka, bahkan sekarang ditambah akan
ada calon keluarga baru, si Rey, kemudian kalian akan mempunyai anak, dan Ayah
akan menimang cucu. Bagian mana yang membuat Ayah kesepian, sayang?” jelas
ayah.
Aku menegakkan tubuh dan menatap
ayah,
“Ayah, Fia ga ada lagi dirumah
setiap hari, mungkin Fia akan mengunjungi Ayah pada hari libur seperti malam
ini dan malam besok misalnya. Bisa jadi Ayah akan butuh Fia saat hari biasa,
tapi Fia malah ga bisa bantuin ayah lagi, trus Fia...”
“Fia sayang.. sekali lagi Ayah
ucapkan, Ayah akan mendukung apa keputusan Fia yang pasti itu yang terbaik
untuk Fia. Ayah tau Fia juga sangat ingin menikah dengan Rey, bukan? Ayah kan
juga masih kerja, jad mungkin waktu akan terasa lebih cepat dan kau datang
ketika Ayah membutuhkan Fia, yaitu pada saat malam seperti ini, malam liburan
akhir minggu, untuk berbincang pengalaman baru Fia, ataupun bertukar cerita
dengan Raka. Ayah akan selalu bahagia apabila anak – anak Ayah juga bahagia.”
Sekali lagi aku tidak dapat
berucap. Aku hanya ingin bersandar dibahu ayah lebih lama, merasakan kehangatan
dan kasih sayang yang dipancarkan Ayah. Menikmati kesunyian yang tenang dan
menentramkan hati diantara kami berdua. Aku selalu bersyukur, aku selalu
bahagia bisa mendapatkan seorang ayah yang sehebat ini.
............
12 Mei 2020.
“Selamat Pagi
nona kecil,” bisikan ayah terdengar sangat jelas. Namun suara tersebut begitu
merdu sehingga aku tak ingin bangun dari tidurku.
“Fia sayang..
saatnya untuk mempersiapkan diri, ini sudah jam setengah 5 pagi, sholat subuh
dulu yuk jama’ah bareng Ayah,” ucapnya lagi.
“Iya, Fia
bangun, Ayah” ku sadari aku berbicara dengan mata masih terpejam.
Dengan sigap
ayah menari tubuh ku seperti saat aku masih remaja dulu ketika malas
dibangunkan untuk sholat subuh. Aku terkejut dan langsung merasa segar dengan
sikap ayah tadi.
“Kapan lagi Ayah
bisa bangunkan kamu seperti ini, karena hari ini nona kecil Ayah akan diambil
oleh orang lain,” nada suara ayah mengejek denga berakting menjadi seorang duda
tua yang berpura – pura sedih karena anaknya yang paling cantik akan
meninggalkan rumah.
“Aku akan
menjadi istri Rey, ayah, istri orang,” ucapku pelan dengan nada gembira.
“Ayah tau, dan
Ayah pun sudah lama menanti waktu ini yang lama tak kunjung datang,” balas ayah
dengan membuka tangannya bersiap untuk memelukku.
Dengan cepat
aku membalas respon Ayah dengan memeluknya erat.
“Aku akan
selalu menyayangi, Ayah, Rey, dan Raka,” ucapku bahagia.
“Jadi sekarang
Raka menjadi no ke-3 dalam urutan pria yang disayangi Fia?” goda ayah.
“Hahaha, bisa
jadi, abis Raka sekarang jahil,” adu-ku.
Ya, kasih
sayang memang tak ternilai harganya. Perasaan itu akan muncul dalam keadaan
hati yang bersih, dan ikhlas menyayangi seseorang karena Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar