Selasa, 28 April 2015

Selamat Pagi nona kecil,

“Selamat Pagi nona kecil,”
Ku pejamkan mata, mencoba melihat seluruh isi dunia dari kegelapan. Ku rasakan hembusan angin kecil, tak ku hiraukan suara bising kicauan burung. Mencoba mendamaikan hati dari bisikan – bisikan liar oleh pikiran. Dingin, namun kurasakan cahaya mentari yang kunjung menyapa tubuhku. Ku tersenyum mengingat kata itu, kata yang hampir setiap pagi ku dengar dari ksatria ku tanpa kuda. Ksatria yang didamba – damba oleh pujaan hati banyak wanita. Sungguh, beruntungnya diriku bisa mendapatkannya. My big hero. My daddy.
Aku terperajat mendengar handphone ku berdering.
“Rey?” ku termenung melihat layar handphone ku bertulisan namanya.
“Fiaaa.. Ayo turun sayang, kamu tidak pergi bekerja? Rey sudah ada dibawah,” panggil ayahku dari lantai bawah.
“Iya, sebentar lagi Fia turun, ayah,” jawabku sambil mematikan panggilan dari Rey, dan mulai sedikit merapihkan pakaian kerjaku.
Tak membutuhkan waktu yang lama untuk turun dari kamarku, dan kutemui 3 pria yang paling ku sayangi sedang duduk dimeja makan menikmati masakan buatan bibi. Ya, ibuku sudah tiada sejak dia melahirkan adik kecilku. Awalnya aku marah, mengapa tidak adikku saja yang mati, kenapa harus ibuku satu – satunya, mengapa harus ada kehilangan setelah ada kedatangan yang seharusnya menggembirakan. Namun semakin aku bertambah umur aku mulai menyadari, bahwa ini keputusan yang baik karena ibuku akan masuk surga karena ibuku mati syahid, mati dijalan Allah. Dan entah mengapa ini sudah 17 tahun semenjak ayah ditinggal ibu, ayah tidak ingin menikah lagi. Disisi lain aku sangat bangga pada ayahku karena selalu menjaga cintanya untuk ibuku seorang, tapi disisi lain aku merasa sedih, kesendirian dapat membunuh kebahagiaan.  
Sejenak ku berhenti dan mulai tersenyum melihat perbincangan mereka yang penuh tawa dan canda. Ku mulai mengampiri adik kecil ku, Raka, yang berumur 17 tahun, dan mencubit pipi kecil nya. Seperti biasa dia hanya bisa marah – marah kecil dan mulai mengutukku. Kemudian aku menghampiri ayah, dan mencium pipinya lembut. Selanjutnya, yah kau tahu, aku hanya bisa duduk disebelah ayah dan Rey, pacar ku atau bisa dibilang calon suamiku. Tidak mungkin kan aku memeluknya didepan ayahku, haha. Percakapan tak berlangsung lama disitu karena kami harus melaksanakan kewajiban kami masing – masing. Seperti biasa, aku diantar Rey menuju kantorku.
“Hai nona kecil, kenapa dirimu hanya terdiam termangu melihat puluhan mobil diluar sana?” goda Rey, aku hanya tersenyum melihatnya dan kembali melihat kearah luar. Mendengar kata ‘nona kecil’, teringat ayah, sungguh menggembirakan memiliki mereka berdua.
Rayzan Andika Putra, itu nama pacarku. Kami saling mengenal sejak dibangku kuliah semester 3, dia teman sekelas ku. Aku tidak ingat bagaimana kita dekat, kita hanya berteman biasa sampai suatu saat dia menyatakan perasaannya padaku. Namun pada saat itu aku hanya bisa terdiam tanpa menjawab. Kami sempat menjaga jarak selama 2 minggu setelah itu, namun aku dan dirinya tidak tahan melihat kesenjangan ini, dan pada akhirnya dia angkat bicara, “aku akan menunggumu sampai siap untuk menjadi calon istriku, bukankah aku tidak memintamu menjadi pacarku?” . Aku tersenyum geli mengingatnya, aku akan selalu mengingatnya.
Saat itu aku hanya bingung bagaimana menjawabnya. Aku akui aku menyukainya, bahkan mulai mencintainya. Entah kapan benih merah jambu ini muncul dihatiku. Perempuan mana yang tidak tertarik padanya? Dia tampan, berbadan tegap tinggi, berkulit putih, sangat menguasai mata kuliahnya, rajin mengerjakan tugas, yang bukan tugas saja dia kerjakan (hehe), ramah kepada siapa pun, yang paling penting dia rajin beribadah ke masjid. Yah, sungguh idaman kaum hawa. Sedangkan aku, hanya seorang gadis ingusan anak papa yang setelah 3 tahun lamanya memendam perasaan untuk tidak mencintai seorang laki – laki selain ayah dan adikku. Yah, sedikit penyesalan cinta monyet yang berbumbu gula tetapi tidak manis. Sampai suatu hari kami wisuda, dan pada saat itu aku menerimanya. Dia girang bukan main, terlihat dia sangat ingin memelukku tapi tersadar bahwa kami bukan mukhrim. Aku hanya bisa tersenyum menahan tawa, bahwa sebenarnya hatiku-lah yang lebih berbunga – bunga.
“Fia.. ada apa denganmu? Kau sakit?” ucap Rey lirih.
Aku hanya menggeleng dan tersenyum kembali melihatnya.
“Aku hanya sedang bersyukur mempunyai pria – pria yang sangat menyayangiku,” balasku.
“Pria – pria? Siapa saja mereka? Apa kamu mencoba membuatku cemburu?” tambahnya dengan nada tidak suka namun tetap berusaha melucu.
“Maybe, hahaha. Mereka ayah dan adikku, kalo kamu? Kamu kan belum jadi suami aku, jadi kamu belum milikku,” godaku dengan nada sedikit serius.
“Kode merah nih, kode merah” candanya sambil mencubit lenganku.
“Iih.. cubit – cubit lagi, bukan mukhrim ah,” senggolku gantian.
“Iih.. senggol – senggol, bukan mukhrim juga,” balasnya sambil memerhatikan mobil – mobil yang semakin memenuhi jalanan.
Aku hanya bisa tertawa, dan mulai membuka handphone karena ada notifikasi di sosial media. Tiba – tiba tangan Rey mengambil handphone ku,
“Bukan kah kita sudah mengucap janji apabila sedang bersama tidak boleh bermain gadget?” Ucapnya masih sambil menyetir. Aku hanya bisa terdiam meng-iya-kan pernyataannya. Namun aku mulai bosan dengan suasana yang hening, ku putuskan untuk menyalakan musik. Namun tiba – tiba Rey mematikan lagunya.
“Aku sudah berbicara pada orang tua ku, dan kami akan datang kerumahmu sabtu ini,” ucapnya pelan namun sangat jelas ku mendengarnya. Aku memandang Rey dengan terkejut. Aku belum siap.
“Bukan kah kita sudah bersama – sama selama 4 tahun ini? Aku sudah mengenalmu dengan baik, begitu pula denganmu, begitu pula dengan orang tua kita, keluarga kita. Jika kita menudanya semakin lama, aku takut..”
“Takut kau akan berpaling dariku? Takut kau akan menyukai orang lain?” potongku, dan tanpa ku sadari nada suaraku mulai meninggi.
“Siapa yang..”
“Aku tidak pernah mengikatmu untuk selalu berada disisiku, aku selalu membiarkan mu untuk memutuskan apa akhir dari hubungan ini. Aku tidak pernah melarangmu untuk mendekati wanita lain,” Aku berbohong, ucapanku itu semua bohong. Hatiku sakit mengucapkan hal itu. Tapi itulah kenyataanya, aku memang tidak ingin Rey merasa terikat dengan diriku.
“Dengarkan aku dan jangan memotong ucapanku, please honey,” ucapnya perlahan dan hangat walaupun aku mulai marah.
“Aku takut hatimu yang berpaling, aku takut kau terpikat dengan lelaki lain diluar sana, walaupun mungkin dia lebih baik dariku tapi hatiku tetap saja tidak bisa melepaskanmu,” dia mengelus kepalaku dengan lembut. Hatiku teriris, bagaimana bisa lelaki sesempurna dia bisa mendapatkan gadis seperti diriku? Bagaimana bisa aku berpaling toh aku sudah mendapatkan malaikat.
“Aku tidak pernah meragukan dirimu, aku mencintaimu karena Allah , aku sangat bersyukur karena Allah telah menurunkan bidadari surga yang lebih dari pantas untuk kujadikan seorang pendamping hidupku,” tambahnya dengan nada sendu.
Aku hanya bisa memalingkan muka, tidak berani menatap dirinya yang sekarang sedang menatapku lekat – lekat. Saat itu sedang lampu merah, mengapa waktu berhenti disaat seperti ini? Pikiranku kalang kabut. Aku mulai menitikkan air mata, dan ku tahan jangan sampai terjatuh dan terlihat olehnya.
“Fi.. kenapa diam saja? Kamu beneran sudah menemukan lelaki lain diluar sana?” tanya Rey, suaranya parau.
Ku matikan gengsiku dan ku perlihatkan mataku yang sedang berkaca – kaca, menatapnya lekat – lekat. Sayang lampu sudah kembali hijau dan Rey lebih terfokus dengan jalanan.
“Kok nangis fi? Kamu beneran...? Oke oke, aku akan selalu dukung kamu, apa pun itu yang terbaik buat kamu, aku akan selalu ada dibelakangmu,” ucap Rey tergesa – gesa ingin menghiburku. Ternyata dia memperhatikanku. Segera ku layangkan tinju kecil ku kebahunya.
“Ngomong apa sih, siapa yang udah dapet lelaki lain, hati aku cuma buat kamu seorang,” ucapku parau menahan air mata agar tidak berjatuhan. Ku melihat kelegaan diwajah Rey. Dia mulai tersenyum.
“Aku bete ah, jangan ngomongin ini lagi,” ucapku kemudian, aku mulai tersadar dan menjadi salah tingkah. Rey kembali mengusap kepala ku lembut.
“Aku akan selalu merindukan pertengkaran kecil kita seperti ini, andai kita sudah mukhrim mungkin kamu sudah ku cium,” candanya memecah suasana yang sendu.
“Apaan sih, turunin aku sekarang, kamu lelaki cabul,” kubalas canda dengan pura – pura merasa jijik dengan Rey. Dan dia hanya tertawa melihat tingkah konyolku.
“Eh tapi aku serius lho, sabtu ini aku bakal ngelamar kamu,” ucapannya kembali serius tapi tetap dengan nada yang ringan dan tenang.
Aku terdiam sejenak dan berpikir.
“Bagaimana dengan ayah? Kasihan dia akan sendirian setelah kita menikah nanti,” balasku pelan, tak berani ku melihat wajah Rey.
Rey menatapku, tersirat rasa sayang disana.
“Bicaralah kepada ayahmu nanti malam, aku tidak akan mengganggu kalian malam ini,”
Itu berarti Rey tidak akan menelponku malam ini, dia akan membiarkanku menikmati waktu berdua dengan ayah. Tapi waktu itulah yang sedikit tidak ku tunggu – tunggu. Aku takut.

.....

Malam ini ayah sedang sedikit longgar karena besok hari sabtu, malam sabtu memang sangat nyaman untuk bersantai melepas penat dari aktifitas yang begitu menguras tenaga siang tadi. Ayah duduk dibalkon teras atas, sambil memegangi handphone untuk melihat berita online dan sesekali menyeruput teh rasa jeruk purut disampingnya. Malam ini cerah, angin yang berhembus tidak sekencang biasanya, bahkan bisa dikatakan tenang hampir tanpa angin. Bulan sabit ditemani cahaya cahay kecil bintang bertaburan menambah keindahan langit.
Aku memutuskan untuk duduk disamping ayah dan bersandar dipundaknya. Ayah sedikit terkejut, namun mencoba mendapatkan posisi yang nyaman untukku dan dirinya. Aku masih bersandar dibahunya.
“Ada apa dengan nona kecil ku hari ini? Tumben ga telpon – telponan sama bebebnya. Rey kemana? Dia baik – baik saja kan?” kata ayah memulai percakapan terlebih dahulu.
Aku menegakkan badan dan melihat ke arah ayah dengan wajah sedikit cemberut.
“Jadi ayah hanya mengkhawatirkannya? Ayah tidak mengkhawatirkan si nona kecil ini?” ucapku pura – pura kesal.
Ayah hanya tertawa kecil dan kembali menyuruhku perlahan untuk kembali bersandar dibahunya. “Siapa bilang ayah ga khawatir sama si nona kecil satu ini, kalo terjadi sesuatu dengan nona kecil ini, akan ku beri pelajaran si Rey itu,” balas ayah sok – sok garang.
Aku hanya bisa tersenyum, terdiam menikmati kenyamanan ini yang entah suatu hari nanti apakah aku bisa mendapatkannya lagi atau tidak.
“Ayah,” ucapku memastikan ayah sedang mendengarkanku atau tidak.
“Apa sayang?” balasnya.
“Apakah aku pantas untuk Rey?” ucapan itu terlintas begitu saja. YA, kekhawatiranku akan hal itu tak kunjung reda. Aku hanya takut dia menyesal mendapatkanku dan akan menyia – nyiakan ku begitu saja. Yah, sepertinya aku terkena korban sinetron – sinetron.
“Apa yang kamu pikirkan, Fia? Rey yang harusnya bertanya seperti itu, dia begitu beruntung mendapatkan dirimu sayang, anak yang selalu menurut dengan ucapan ayahnya ini masa ga termasuk wanita idaman? Kamu wanita idaman ayah lho, Fi,” ucap ayahku yang terlalu melebih – lebihkan sikapku.
“Ayaaah.. Fia serius ini, Fia kan belum jadi muslimah yang solehah, Fia masih kurang banget persiapan buat jadi istri orang, ayaah..” ucapku dan aku baru tersadar bahwa aku keceplosan.
“Siapa yang mau jadi istri orang?” ayah memandangku dengan senyum nakal.
Aku hanya terdiam tersenyum malu,
“Ayah, sebenernya Fia mau bilang, Rey mau ngelamar Fia sabtu besok, tapi Fia ragu, Fia takut, Fia malu, pokonya Fia ngerasa ga siap gitu, Yah, Fia harus gimana dong?” aku mulai merengek manja tapi tetap serius pada pembicaraaan.
“Fia ragu kenapa? Fia ragu sama Rey?” Ayah balik bertanya sambil memandangku.
“Bukannya ragu sama Rey, cuma ngerasa kalo Rey terlalu baik buat Fia,”
“Rey merasa kaya gitu ke Fia?”
“Engga juga sih, malah katanya dia beruntung dapetin, Fia,” Aku malu sambil melilit lilit baju.
Ayah tersenyum,
“Fia, jodoh ada ditangan Allah , namun kita sebagai umatnya juga harus mencari jodoh kita tersebut. Jika kita sudah memilih, berdoa-lah kepada Allah , seperti meminta restu Allah. Jika orang itu memang yang terbaik buat Fia, pasti orang tersebut akan selalu didekatkan dengan Fia. Namun apabila menurut pandangan Allah dia bukanlah yang terbaik untuk Fia, maka Fia dan dia akan dijauhkan. Kalian sudah sangat jauh mencapai jalan sampai seperti ini, kalian kan juga sudah tau latar belakang masing – masing, yang terpenting kalian juga saling cinta atas nama Allah , bukan? Ayah akan selalu ada dibelaang Fia, mendukung Fia dengan sepenuh hati, dan selalu mengarahkan Fia ke jalan yang baik. Rey anak yang baik, soleh, Ayah yakin dia juga dapat menuntun Fia menjadi wanita yang lebih solehah, dan Ayah akan selalu bangga dengan kalian.”
Aku hanya bisa terdiam termangu mendengar ucapan ayah yang begitu hangat dan penuh kasih sayang. Ku peluk ayah, dan aku kembali bersandar kepadanya.
“Lalu pertanyaan kedua, apa yang akan Ayah lakukan setelah Fia dipingit orang? Ayah akan sendirian tanpa ada sosok wanita dihidup Ayah, aku juga mempermasalahkan hal itu, Ayah. Apa perlu aku carikan wanita sebagai pendamping hidup ayah? Atau aku batalkan pernikahan dan kembali ke sisi Ayah untuk selalu menemani Ayah?” Tanyaku bertubi – tubi seperti anak kecil yang penasaran akan suatu hal baru.
Ayah hanya tertawa mendengar celotehanku. Kemudian menatapku.
“Fia sayang.. Ayah tidak akan pernah kesepian selagi ada kalian, Fia dan Raka, bahkan sekarang ditambah akan ada calon keluarga baru, si Rey, kemudian kalian akan mempunyai anak, dan Ayah akan menimang cucu. Bagian mana yang membuat Ayah kesepian, sayang?” jelas ayah.
Aku menegakkan tubuh dan menatap ayah,
“Ayah, Fia ga ada lagi dirumah setiap hari, mungkin Fia akan mengunjungi Ayah pada hari libur seperti malam ini dan malam besok misalnya. Bisa jadi Ayah akan butuh Fia saat hari biasa, tapi Fia malah ga bisa bantuin ayah lagi, trus Fia...”
“Fia sayang.. sekali lagi Ayah ucapkan, Ayah akan mendukung apa keputusan Fia yang pasti itu yang terbaik untuk Fia. Ayah tau Fia juga sangat ingin menikah dengan Rey, bukan? Ayah kan juga masih kerja, jad mungkin waktu akan terasa lebih cepat dan kau datang ketika Ayah membutuhkan Fia, yaitu pada saat malam seperti ini, malam liburan akhir minggu, untuk berbincang pengalaman baru Fia, ataupun bertukar cerita dengan Raka. Ayah akan selalu bahagia apabila anak – anak Ayah juga bahagia.”
Sekali lagi aku tidak dapat berucap. Aku hanya ingin bersandar dibahu ayah lebih lama, merasakan kehangatan dan kasih sayang yang dipancarkan Ayah. Menikmati kesunyian yang tenang dan menentramkan hati diantara kami berdua. Aku selalu bersyukur, aku selalu bahagia bisa mendapatkan seorang ayah yang sehebat ini.

............

12 Mei 2020.                                
“Selamat Pagi nona kecil,” bisikan ayah terdengar sangat jelas. Namun suara tersebut begitu merdu sehingga aku tak ingin bangun dari tidurku.
“Fia sayang.. saatnya untuk mempersiapkan diri, ini sudah jam setengah 5 pagi, sholat subuh dulu yuk jama’ah bareng Ayah,” ucapnya lagi.
“Iya, Fia bangun, Ayah” ku sadari aku berbicara dengan mata masih terpejam.
Dengan sigap ayah menari tubuh ku seperti saat aku masih remaja dulu ketika malas dibangunkan untuk sholat subuh. Aku terkejut dan langsung merasa segar dengan sikap ayah tadi.
“Kapan lagi Ayah bisa bangunkan kamu seperti ini, karena hari ini nona kecil Ayah akan diambil oleh orang lain,” nada suara ayah mengejek denga berakting menjadi seorang duda tua yang berpura – pura sedih karena anaknya yang paling cantik akan meninggalkan rumah.
“Aku akan menjadi istri Rey, ayah, istri orang,” ucapku pelan dengan nada gembira.
“Ayah tau, dan Ayah pun sudah lama menanti waktu ini yang lama tak kunjung datang,” balas ayah dengan membuka tangannya bersiap untuk memelukku.
Dengan cepat aku membalas respon Ayah dengan memeluknya erat.
“Aku akan selalu menyayangi, Ayah, Rey, dan Raka,” ucapku bahagia.
“Jadi sekarang Raka menjadi no ke-3 dalam urutan pria yang disayangi Fia?” goda ayah.
“Hahaha, bisa jadi, abis Raka sekarang jahil,” adu-ku.

Ya, kasih sayang memang tak ternilai harganya. Perasaan itu akan muncul dalam keadaan hati yang bersih, dan ikhlas menyayangi seseorang karena Allah.




Kamis, 23 April 2015

Kupu – kupu

Aku cemburu, ketika kau tak lagi datang kepadaku
Aku cemburu, ketika kau hinggap di bunga sebelahku
Aku cemburu, ketika kau menghabiskan waktu dengan bunga itu
Aku cemburu, ketika perhatianmu tersita oleh dirinya
Ketika kau tak lagi membutuhkanku, ketika kau tak lagi menyapaku
Ketika semua berubah menjadi malam kemudian siang, dan kau tak lagi datang
Ketika kau selalu bertemu dengannya untuk mengambil sedikit demi sedikit nektar yang ia punya
Sampai dia kehabisan nektar kau pun tetap menghinggapinya
Tak sadarkah kau masih banyak nektar dibunga lainnya, masih ada nektar didalam tubuhku
Tak tau kah engkau bahwa nektar yang ku buat sudah ku perbaiki agar kau mau kembali padaku
Jangan kau anggap aku seperti bunga bangkai
Yang bermekar indah, tapi tak berpesona

Aku cemburu